Dia
memilih merendahkan hati agar api emosi lawan bicara tidak membumbung tinggi.
Dia lebih memilih mengalah dan meredam api amarah agar tercipta suasana
kedamaian yang jauh dari sumpah serapah. Dia juga selalu belajar untuk tidak selalu menyalahkan
orang lain, tetapi lebih banyak belajar untuk lebih menghargai orang lain,
karena dia sadar tidak bisa hidup sendirian dan pasti selalu butuh orang lain.
Baginya api tidak perlu dilawan dengan api. Setetes embun, meski kadang tidak seberapa, setidaknya mampu meredam kobaran api walau hanya sedikit. Sebagai lelaki yang selalu bertemu dengan banyak orang dan berhubungan dengan masyarakat luas, dia menyadari bagaimana harus mengatur sebuah kata. Bagaimana dia harus menyusun bahasa agar orang lain tidak tersakiti dan tetap nyaman bersamanya.
Karena
lelaki itu sadar bahasa itu kunci. Bahasa itu sebuah pembuka untuk apa saja.
Karena sebuah bahasa, perang bisa pecah antar Negara. Tetapi dengan sebuah
bahasa juga, kedamaian dunia bisa terukir dan terpelihara. Berbahasa yang halus
dan kasar memang tidak ada bedanya. Sama-sama keluar dari mulut dan menggunakan
energi yang tidak jauh beda. Tetapi keduanya meninggalkan jejak yang berlainan.
Bahasa yang halus dan lembut membuat orang lain merasa dihargai. Sebaliknya,
bahasa yang kasar penuh umpatan hanya menimbulkan luka hati dan jiwa.
Negeri
ini pernah terkenal sebagai negeri yang berbudi luhur dengan adab yang tinggi.
Dulu, soal moral, etika dan sopan santun menjadi menu santapan wajib di semua
jenjang pendidikan. Tetapi seiring perkembangan jaman dan teknologi, predikat
negeri yang berbudi luhur itu makin memudar. Soal moral, etika dan sopan santun
lambat laun juga sudah menjadi sebuah
barang yang langka.
Masyarakat
kita saat ini seperti sebuah kebanggaan kalau bisa berkata kasar dan melontarkan
umpatan. Lihatlah tayangan hampir semua di media mainstream, mulai dari televisi,
radio, media sosial dan media online, hampir setiap hari bahasa-bahasa makian
dan kata-kata yang jauh dari etika seperti sengaja dipertontonkan. Dan kita sama
sekali tidak mampu untuk mencegah dan hanya bisa mengurut dada.
Pada
hal media mainstream juga merupakan salah satu guru yang mengajarkan masyarakat
kita tentang keadaban kehidupan. Kalau setiap hari, bahasa yang dilontarkan
dalam media tersebut mempertontonkan bahasa-bahasa yang tidak baik tentu akan
berpengaruh pada tata kehidupan masyarakat secara luas. Lebih miris lagi,
mereka-mereka yang melakukan seperti itu bukan masyarakat biasa. Tetapi justru
para pemimpin-pemimpin kita yang kadang-kadang dengan penuh bangganya memberikan
pernyataan dengan kata-kata yang jauh dari etika dan estetika. Negeri ini
seperti sudah menyandang penyakit akut soal etika. Dan lambat laun predikat
negeri berbudi pekerti luhur hanya akan jadi cerita.
Dulu,
semasa saya masih kecil dan hidup dalam lingkungan adat Jawa yang kuat, betapa
soal sopan santun dan etika menjadi sebuah pelajaran penting dalam keluarga. Setiap
orang Jawa, tidak mau anaknya tidak punya tata krama dalam pergaulan. Dan ini
sesuatu yang penting. Mengapa? Karena bagi orang Jawa, perilaku seorang anak merupakan
cerminan orang tuanya. Tingkah laku anak sebagian besar merupakan hasil dari
pola didik keluarga. Anak yang memiliki budi pekerti yang baik tentunya membuat
orang tua bangga. Karena itu bila ada anak yang berkata kurang sopan dan tidak
tahu bagaimana menghargai orang yang lebih tua, selalu dibilang, “Iki anake sopo to?” Nama orang tua
selalu terbawa dalam setiap ulah dan perilaku seorang anak.
Namun
demikian, berperilaku baik saja tidaklah cukup. Bagi kebanyakan orang tua dalam
keluarga Jawa, menjadi sebuah kebanggaan ketika anak tahu bagaimana harus
berperilaku di hadapan orang yang lebih tua dan semestinya dihormati. Banyak
anak yang tahu bagaimana berperilaku sopan, namun tidak semua anak paham
caranya memperlakukan orang yang lebih tua dengan rasa hormat yang sepatutnya.
Bagi
yang pernah besar di lingkungan keluarga Jawa, tentunya pernah mendengar
pentingnya unggah-ungguh, ataupun ngajeni wong liyo. Istilah unggah-ungguh dapat diartikan sebagai sikap
sopan santun atau tata krama. Sedangkan ngajeni
wong liyo dapat diartikan sebagai menghargai, menghormati, atau merasa
segan terhadap orang lain. Dua konsep ini dan banyak konsep lainnya dalam keluarga
adat Jawa, merupakan fondasi dalam membentuk sikap dan rasa hormat pada anak.
Karenanya,
dalam adat Jawa, bahasa menjadi instrumen penting yang luar biasa efektif guna
mengajarkan anak mengenai respek atau rasa hormat, terutama dalam sebuah
keluarga. Seorang anak selalu diajarkan untuk menggunakan tatanan bahasa yang
lebih halus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Karena kesadaran akan
penggunaan tatanan bahasa yang tepat, secara tidak langsung akan melatih anak
untuk pandai menempatkan diri. Dalam tradisi Jawa, penggunaan bahasa Jawa ngoko (kasar) terhadap orang yang lebih
tua kerap dianggap kurang sopan, bahkan kurang ajar. Sebaliknya, jika anak
pandai berbahasa kromo (halus) ketika
berbicara dengan orang yang lebih tua, ia akan lebih mudah disukai dan dianggap
orang tuanya berhasil dalam mendidik seorang anak dengan pola asuh yang tepat.
Keadaban
dalam tata kehidupan memang penting. Meski perjalanan waktu terus bergulir,
soal adab dan tata krama sudah seharusnya tidak ditinggalkan. Karena inti dari
filosofi negeri berbudipekerti luhur sejatinya menyangkut soal adab.
Namun
belakangan entah penyakit apa gerangan yang telah merusak struktur dan fungsi keadaban
sebagai ruh negeri ini? Kalau sebuah virus, tentu bukan sebuah virus
sembarangan karena telah berhasil masuk dan menghancurkan jantung negeri ini. Virus
yang entah datangnya dari mana, namun secara signifikan telah membuat kita
tersengat oleh aliran listrik kehancuran yang sangat kuat.
Negeri
ini pernah dikenal sebagai negeri pemaaf dan penuh empati. Bahkan negeri ini
juga terkenal dengan budaya menghalalkan masing-masing kesalahan atau saling
memaafkan dalam setiap setahun sekali. Karena memaafkan itu tradisi baik dalam
mensucikan hati. Memaafkan itu mampu melembutkan, hati, kata-kata dan perbuatan
seseorang. Dan semakin berempati seseorang akan semakin sehat jiwa dan pikiran
seseorang.
Namun
saat ini mencari sebuah empati dan kata maaf seperti pungguk merindukan bulan.
Seperti menampung air dalam keranjang. Rasa empati dan pemaaf telah sirna dalam
tumpukan jerami kering. Sedikit saja tersulut api langsung menjelma jadi
kobaran api emosi yang begitu besar. Tidak hanya itu, kita juga sudah mulai
kehilangan tradisi menangis menyaksikan penderitaan orang lain. Pada hal
tetesan air mata karena tersentuh oleh kenyataan yang menyayat hati itu membantu
melembutkan jiwa.