Sabtu, 02 Maret 2013

Ambisi Yes, Emosi dan Ambisius No!

Pemilu 2014 memang masih menyisakan waktu satu tahun lagi. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh partai politik, baik dengan melakukan ferivikasi faktual partai maupun penyusunan daftar calon legislatif, yang nantinya diusung dalam ajang pesta demokrasi pemilihan umum. Sebagai warga negara yang baik, sudah selayaknya kita harus turut mendukung dan mensukseskan pesta demokrasi itu. Mengapa kita sebagai warga negara harus turut mendukung pelaksanaan kampanye dan pemilu yang damai? Karena, sesuai dengan amanat Pasal 2 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga memiliki makna bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung. Jika mengamati berbagai fenomena politik yang semakin hangat, saya teringat dengan sebuah sticker bonus dari sebuah buku teka teki silang yang pernah saya baca. Isinya cukup relevan dengan kondisi sekarang : Ambisi Yes, Emosi dan Ambisius No! Terus terang, saya sangat tertarik, mengapa? Kalimat itu mengisyaratkan kepada kita untuk harus tetap memiliki semangat mengejar cita-cita, namun harus tetap ditempuh dengan cara yang santun dan elegan. Hidup adalah dinamika, tidak etis jika kita lantas menjadi fatalis, yang hanya pasrah dengan keadaan, menerima hidup dengan apa adanya.Tentu kita semua memiliki visi, harapan, cita-cita, yang hendak kita capai sesuai dengan kemampuan dan norma yang berlaku. Memang, tidak mudah untuk memprediksi perolehan suara bagi seorang caleg, karena keberadaan sistem multi partai yang diselaraskan dengan kondisi ekonomi maupun sikap mental dan politik masyarakat kita. Untuk itu, bagi rekan-rekan yang akan menghadapi “peperangan di padang Kurusetra” nanti, saya hanya bisa menyarankan untuk sejak dini meminimalisir “tekanan kejiwaan” kita. Pertimbangkan dan segera antisipasi dampak terburuk, yaitu kegagalan. Mari sejak sekarang bisa lebih bersikap ikhlas dengan mempasrahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anggap saja ajang Pemilu sebagai "ajang silaturahmi", karena apapun yang terjadi, kita adalah makhluk sosial. Manusia yang saling bersilaturahmi dalam kebaikan dengan manusia yang lain. Memang, sesungguhnya, "tekanan kejiwaan" seperti ini tidak perlu terjadi, jika kita tidak salah kaprah. Kesalahkaprahan itu terjadi karena kita sudah kehilangan kepercayaan diri, sehingga masih banyak kita yang ingin "duduk" harus menghalalkan segala cara. Padahal, untuk memperoleh "suara" sesungguhnya tidaklah harus selalu dengan uang, melainkan sikap, karya nyata, kepedulian, empati dan simpati. Jika tidak terjadi keseimbangan antara das sollen dan das sein, biasanya memang akan terjadi "penolakan" sebagaimana yang dihadapi oleh beberapa petualang politik yang jatuh terjerembab dalam kubangan ambisius yang membabi buta. Begitu juga akan menimbulkan ekses lain seperti ada yang mencoba bunuh diri karena gagal menjadi caleg, ada calon bupati yang harus masuk Rumah Sakit Jiwa karena gagal memenangi Pilkada, dan masih banyak yang lainnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Intinya karena rasionalitas sudah hilang, tidak ada keseimbangan antara IQ, EQ dan ESQ. Saya sangat menyadari, betapa banyak tenaga, pemikiran dan biaya (cost atau money) yang telah dikeluarkan. Banyak caleg yang harus rela menggadaikan segenap “aset” yang dimilikinya. Ada juga caleg yang terjerat tindak pidana karena berusaha memenuhi ambisi yang tak terbendung itu. Ambisi boleh saudara, tetapi juga harus realistis. Semoga Sukses!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar