Rabu, 17 Januari 2024

Bahasa Bentuk Kebesaran Jiwa

Selama bertahun-tahun saya mengenalnya, sangat jarang lelaki itu mengeluarkan kata-kata kasar. Hampir tidak pernah terlontar dari mulutnya sebuah umpatan, makian atau pun bahasa-bahasa yang sangat tidak enak didengar.  Lelaki itu lebih banyak diam bila mendengar orang lain berkata tidak baik padanya. Lelaki itu memilih tersenyum dan minta maaf duluan bila bertemu dengan orang yang memberinya ungkapan-ungkapan yang kurang beretika serta tidak semestinya.

Dia memilih merendahkan hati agar api emosi lawan bicara tidak membumbung tinggi. Dia lebih memilih mengalah dan meredam api amarah agar tercipta suasana kedamaian yang jauh dari sumpah serapah. Dia juga selalu belajar untuk tidak selalu menyalahkan orang lain, tetapi lebih banyak belajar untuk lebih menghargai orang lain, karena dia sadar tidak bisa hidup sendirian dan pasti selalu butuh orang lain.

Baginya api tidak perlu dilawan dengan api. Setetes embun, meski kadang tidak seberapa, setidaknya mampu meredam kobaran api walau hanya sedikit. Sebagai lelaki yang selalu bertemu dengan banyak orang dan berhubungan dengan masyarakat luas, dia menyadari bagaimana harus mengatur sebuah kata. Bagaimana dia harus menyusun bahasa agar orang lain tidak tersakiti dan tetap nyaman bersamanya.



Karena lelaki itu sadar bahasa itu kunci. Bahasa itu sebuah pembuka untuk apa saja. Karena sebuah bahasa, perang bisa pecah antar Negara. Tetapi dengan sebuah bahasa juga, kedamaian dunia bisa terukir dan terpelihara. Berbahasa yang halus dan kasar memang tidak ada bedanya. Sama-sama keluar dari mulut dan menggunakan energi yang tidak jauh beda. Tetapi keduanya meninggalkan jejak yang berlainan. Bahasa yang halus dan lembut membuat orang lain merasa dihargai. Sebaliknya, bahasa yang kasar penuh umpatan hanya menimbulkan luka hati dan jiwa.

Negeri ini pernah terkenal sebagai negeri yang berbudi luhur dengan adab yang tinggi. Dulu, soal moral, etika dan sopan santun menjadi menu santapan wajib di semua jenjang pendidikan. Tetapi seiring perkembangan jaman dan teknologi, predikat negeri yang berbudi luhur itu makin memudar. Soal moral, etika dan sopan santun  lambat laun juga sudah menjadi sebuah barang yang langka.

Masyarakat kita saat ini seperti sebuah kebanggaan kalau bisa berkata kasar dan melontarkan umpatan. Lihatlah tayangan hampir semua di media mainstream, mulai dari televisi, radio, media sosial dan media online, hampir setiap hari bahasa-bahasa makian dan kata-kata yang jauh dari etika seperti sengaja dipertontonkan. Dan kita sama sekali tidak mampu untuk mencegah dan hanya bisa mengurut dada.

Pada hal media mainstream juga merupakan salah satu guru yang mengajarkan masyarakat kita tentang keadaban kehidupan. Kalau setiap hari, bahasa yang dilontarkan dalam media tersebut mempertontonkan bahasa-bahasa yang tidak baik tentu akan berpengaruh pada tata kehidupan masyarakat secara luas. Lebih miris lagi, mereka-mereka yang melakukan seperti itu bukan masyarakat biasa. Tetapi justru para pemimpin-pemimpin kita yang kadang-kadang dengan penuh bangganya memberikan pernyataan dengan kata-kata yang jauh dari etika dan estetika. Negeri ini seperti sudah menyandang penyakit akut soal etika. Dan lambat laun predikat negeri berbudi pekerti luhur hanya akan jadi cerita.

Dulu, semasa saya masih kecil dan hidup dalam lingkungan adat Jawa yang kuat, betapa soal sopan santun dan etika menjadi sebuah pelajaran penting dalam keluarga. Setiap orang Jawa, tidak mau anaknya tidak punya tata krama dalam pergaulan. Dan ini sesuatu yang penting. Mengapa? Karena bagi orang Jawa, perilaku seorang anak merupakan cerminan orang tuanya. Tingkah laku anak sebagian besar merupakan hasil dari pola didik keluarga. Anak yang memiliki budi pekerti yang baik tentunya membuat orang tua bangga. Karena itu bila ada anak yang berkata kurang sopan dan tidak tahu bagaimana menghargai orang yang lebih tua, selalu dibilang, “Iki anake sopo to?” Nama orang tua selalu terbawa dalam setiap ulah dan perilaku seorang anak.

Namun demikian, berperilaku baik saja tidaklah cukup. Bagi kebanyakan orang tua dalam keluarga Jawa, menjadi sebuah kebanggaan ketika anak tahu bagaimana harus berperilaku di hadapan orang yang lebih tua dan semestinya dihormati. Banyak anak yang tahu bagaimana berperilaku sopan, namun tidak semua anak paham caranya memperlakukan orang yang lebih tua dengan rasa hormat yang sepatutnya.

Bagi yang pernah besar di lingkungan keluarga Jawa, tentunya pernah mendengar pentingnya unggah-ungguh, ataupun ngajeni wong liyo. Istilah unggah-ungguh dapat diartikan sebagai sikap sopan santun atau tata krama. Sedangkan ngajeni wong liyo dapat diartikan sebagai menghargai, menghormati, atau merasa segan terhadap orang lain. Dua konsep ini dan banyak konsep lainnya dalam keluarga adat Jawa, merupakan fondasi dalam membentuk sikap dan rasa hormat pada anak.

Karenanya, dalam adat Jawa, bahasa menjadi instrumen penting yang luar biasa efektif guna mengajarkan anak mengenai respek atau rasa hormat, terutama dalam sebuah keluarga. Seorang anak selalu diajarkan untuk menggunakan tatanan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Karena kesadaran akan penggunaan tatanan bahasa yang tepat, secara tidak langsung akan melatih anak untuk pandai menempatkan diri. Dalam tradisi Jawa, penggunaan bahasa Jawa ngoko (kasar) terhadap orang yang lebih tua kerap dianggap kurang sopan, bahkan kurang ajar. Sebaliknya, jika anak pandai berbahasa kromo (halus) ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, ia akan lebih mudah disukai dan dianggap orang tuanya berhasil dalam mendidik seorang anak dengan pola asuh yang tepat.

Keadaban dalam tata kehidupan memang penting. Meski perjalanan waktu terus bergulir, soal adab dan tata krama sudah seharusnya tidak ditinggalkan. Karena inti dari filosofi negeri berbudipekerti luhur sejatinya menyangkut soal adab.

Namun belakangan entah penyakit apa gerangan yang telah merusak struktur dan fungsi keadaban sebagai ruh negeri ini? Kalau sebuah virus, tentu bukan sebuah virus sembarangan karena telah berhasil masuk dan menghancurkan jantung negeri ini. Virus yang entah datangnya dari mana, namun secara signifikan telah membuat kita tersengat oleh aliran listrik kehancuran yang sangat kuat.

Negeri ini pernah dikenal sebagai negeri pemaaf dan penuh empati. Bahkan negeri ini juga terkenal dengan budaya menghalalkan masing-masing kesalahan atau saling memaafkan dalam setiap setahun sekali. Karena memaafkan itu tradisi baik dalam mensucikan hati. Memaafkan itu mampu melembutkan, hati, kata-kata dan perbuatan seseorang. Dan semakin berempati seseorang akan semakin sehat jiwa dan pikiran seseorang.

Namun saat ini mencari sebuah empati dan kata maaf seperti pungguk merindukan bulan. Seperti menampung air dalam keranjang. Rasa empati dan pemaaf telah sirna dalam tumpukan jerami kering. Sedikit saja tersulut api langsung menjelma jadi kobaran api emosi yang begitu besar. Tidak hanya itu, kita juga sudah mulai kehilangan tradisi menangis menyaksikan penderitaan orang lain. Pada hal tetesan air mata karena tersentuh oleh kenyataan yang menyayat hati itu membantu melembutkan jiwa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar