Senin, 26 November 2012
Harinya si Umar Bakri
Ketika bursa tenaga kerja dibuka, berapa orang yang minat untuk menjadi guru? Tidak banyak. Menjadi guru, bagi generasi sekarang, bukan pilihan yang menarik. Bukan sebuah pekerjaan yang diimpikan oleh banyak orang.
“Anda keliru kalau menilai guru sebagai pekerjaan,” kata teman saya yang juga seorang guru di sekolah dasar di Tanjungpinang. Teman saya itu, memprotes argumen saya tentang guru merupakan sebuah profesi. Kalau bukan pekerjaan, lantas apa?
Teman saya yang sudah 20 tahun mengajar itu hanya menundukkan kepala. Dia sedikit menggumam. “Menjadi guru itu mengandung kerelaan untuk berbakti pada dunia pendidikan,” ujarnya pelan. “Berbakti bukan sebuah pekerjaan. Kalau kita berbakti pada orang tua, berbakti pada Tuhan, apa itu disebut pekerjaan?” katanya lebih pelan lagi.
Ungkapan teman saya itu merupakan luapan batin yang sangat jujur. Maklum, sepanjang sejarah bangsa ini memang belum dirasakan penghargaan yang lebih mentereng bagi seorang guru. Sementara dibanyak hal, guru selalu menjadi luapan kesalahan. Murid tidak naik kelas, guru yang disalahkan. UAN gagal, guru dikambinghitamkan. Maraknya tawuran pelajar, guru yang dihearing oleh dewan. Pokoknya, ada ketidakberesan pada murid semua dilimpahkan tanggungjawabnya pada guru.
Sementara di sisi lain, nasib guru selalu termarginalkan. Sudah sewajarnya pemerintah memikirkan bagaimana menaikkan derajat para guru dengan memberikan salary yang sangat cukup. Jangan biarkan guru demo, protes dan mogok mengajar karena ‘pendapatan’ yang tidak cukup untuk mengepulkan asap dapur.
Kalau peran guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sudah semestinya guru juga berpenghasilan seperti dokter, anggota dewan, diplomat, atau bahkan menteri. Di luar negeri, gaji guru sangat tinggi. Mereka naik mercedes benz itu biasa. Guru di luar negeri punya rumah mewah itu hal yang wajar. Di Indonesia? Langsung dituding korupsi dana BOS!
Saat ini, guru sudah selayaknya digaji tinggi. Tak usah pura-puralah, banyak juga kok guru-guru kita yang enggan pulang kampung setelah merasakan gurihnya dolar hasil mengajar di luar negeri. Jangan pula malu-malu mengakui, banyak juga kan yang mimpi untuk menjadi guru di luar negeri?
Fasilitas lengkap, gaji tinggi, tunjangan besar membuat mereka betah berlama-lama mengajar di sana. Dan hasil kerja mereka diakui. Kalau memang pemerintah bisa dan mau, boleh dong si Umar Bakri merasakan lembutnya tempat duduk Mercedes-Benz. Atau menikmati hotel-hotel mewah dengan menyeruput capucino yang harganya Rp100 ribu secangkir?
Mudah-mudahan hari guru 25 November ini bukan menjadi hari yang penuh mimpi buruk bagi para Umar Bakri di tanah air. Bukan hari yang semua mimpi hanya bisa di gantung di langit biru.
Hari guru semoga menjadi mimpi baru si Umar Bakri; di dunia naik Mercy, di akhirat pasti lebih nyaman lagi. Pak Guru...Bu Guru...selamat Hari Guru ya..... ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar