Selasa, 14 September 2010

KULO SERAHNE GUSTI ALLAH MAWON



Wajahnya cekung. Jalannya sudah mulai membungkuk maklum usia sudah mulai renta. Di Desa Klisat, Pundong, Bantul, orang-orang biasa memanggil Mbah Dowi. Guratan wajahnya yang keriput Mbah Dowi tidak terlalu risau dengan dunia gempa di desanya. Maklum hampir setiap bulan ada saja gempa yang dia rasakan. Dia tidak panik. Dia tidak takut. Dia jadikan gempa sebagai isyarat untuk lebih dekat dengan Tuhan.


Gempa tektonik super dahsyat 4 tahun lalu telah melenyapkan segalanya. Tidak hanya rumahnya yang besar tetapi juga anak dan keluarganya. Bahkan tragedi gempa Bantul itu juga telah menghilangkan rasa takut itu sendiri. "Kulo mboten ajrih koq nak. Sampun biasa. Kulo namung pasrah margi pejah gesang meniko sampun dipun garis dening Gusti Allah. Kulo serahne Gusti Allah kemawon (Saya tidak takut akan gempa Nak. Sudah biasa. Saya hanya pasrah karena hidup mati sudah diatur oleh Allah SWT. Saya serahkan pada Allah SWT saja)," ujar Mbah Dowi lirih. Yang tersisa dari hidupnya sekarang hanya sebuah kepasrahan.

Kini mbah Dowi hanya menempati rumah sederhana bantuan dari pemerintah. Hari-harinya dia isi dengan menggembala kambing yang juga merupakan nafas hidupnya selain sepetak sawah. Namun dia tidak pernah mengeluh dengan gempa yang telah meluluhlantakan hidupnya. "Sedoyo meniko namung titipan. Lha sewanci-wanci badhe dipun pundhut dening Gusti Allah mboten wonten ingkang saget suloyo (Semua ini kan hanya titipan. Sewaktu-waktu mau diambil oleh Allah SWT tidak ada yang bisa mencegah)," katanya.

Bagi saya masalah Gempa memang juga bukan sesuatu yang asing. Karena saat gempa dahsyat Mei tahun 2006 lalu saya ada di Bantul. Saya merasakan bagaimana bumi seperti dihempaskan dengan suara gemuruh yang menakutkan.

Saya juga ingat bagaimana gempa 5 skala richter pada Minggu kemarin mengagetkan kami yang terlelap. Suara gemuruh disertai goncangan kuat telah membangunkan tidurku. Saya peluk anak saya yang bungsu sambil menggeret istri ke luar rumah. Yayan dan Iqbal, anak saya yang sulung dan nomor dua, dipelukan neneknya sambil menangis. Tetangga semua lari ke luar rumah sambil istighfar dan mengucap takbir. Ketakutan akan dahsyatnya gempa ternyata masih tetap menjadi trauma masyarakat Bantul.

Aku bersujud padamu ya Allah....betapa kekuasaanmu tiada bandingnya. Jadikan aku dan keluargamu sebagai hambamu yang senantiasa mengingatmu di setiap desah nafasku....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar